Mencoba Memahami Jokowi melalui Machiavelli
Kalau ada orang yang
paling kecewa kepada pemerintahan Jokowi sekarang, jawabannya bukan
oposisi, bukan pendukung Prabowo bukan juga kelompok garis keras. tapi
yang peling kecewa kepada Jokowi adalah kelompok yang selama ini
mendukungnya, membelanya dan menganggapnya baik, termasuk saya di
dalamnya.
Saya adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019, selama
periode pertamanya (2014-2019), Jokowi benar-benar menjadi seorang
pemimpin yang layak mendapatkan pujian, dia membangun bangsa Indonesia
dari Sabang sampai Merauke, hampir semua daerah terutama di pelosok
merasakan pembangun dan kehadiran presidennya. Jokowi kala itu
benar-benar merepresentasikan rakyat Indonesia, maka saya dengan senang
hati memilihnya kembali di tahun 2019 sebagai petahana.
Setelah
kembali terpilih dia semakin dicintai oleh rakyat dan pembangunan yang
dia lakukan semakin masif, kali ini bukan hanya rakyat Indonesia yang
mencintainya, bahkan para pemimpin negara lain pun memberi penghormatan
yang tinggi kepada Jokowi.
Namun entah ada angin apa tiba-tiba
Jokowi berubah, ia jadi pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan
keluarga dibandingkan negara, puncaknya dalah cawe-cawe dia di Pilpres
2024 dan "memberikan karpet merah" buat anaknya jadi wakil presiden.
Alhasil orang-orang yang selama ini mendukungnya dibuat muak dan kecewa
sejadi-jadinya.
Saya ingin berusaha untuk tidak kecewa, namun
bagaimanapun kekecewaan tidak dapat saya hilangkan kepada Jokowi, saya
marah selalu menyindir kekecewaan dan kelakuan Jokowi kepada teman-teman
di tongkrongan.
Namun akhir-akhir ini saya tersadarkan bahwa
apa yang dilakukan Jokowi mungkin punya maksud lain dibelakangnya, dan
kalau mencermati dari pengajian Ngaji Filsafat dari Dr, Fahrudin Faiz,
tentang Etika Politik Machiavelli, boleh jadi Jokowi sudah baca
pemikirannya dan mencoba mempraktikan pikiran-pikiran Machiavelli. Salah
satunya misal, kata Machieavelli, "Pemimpin yang baik itu tidak perlu
memegang kata-katanya". Machiavelli mengambil contoh Alexander the
Great, seorang pemimpin dunia yang sukses dan disegani, Alexander the
Great sering berbohong atau tidak memegang perkataannya.
Mungkin
Jokowi terinspirasi dari pemikiran tersebut sehingga akhir-akhir ini
banyak perkataannya yang tidak sejalan dengan kenyataan, misal, saat dia
bilang Gibran masih terlalu muda untuk jadi calon wakil presiden, eh
akhirnya malah direstui dan "dibantu" hingga jadilah sekarang Gibran
sebagai wakil presiden terpilih. Sekarang tinggal adeknya Gibran,
Kaesang, kata Jokowi sebagai orang tua dia hanya bisa mendoakan anaknya,
yakin Pak gak bantu Kaesang?
itulah politik apapun bisa terjadi
dan buat mempertahannkan kekuasaan apapun bisa dilakukan, etika tidak
perlu dilibatkan dalam urusan politik. Kalau bisa menang dengan cara
mudah, kenapa harus repot-repot kampanye bangun citra positif di
masyarakat. Itu pemikiran Machieavelli yang saya sarikan. Terima kasih
Tangsel 18/07/24
Komentar
Posting Komentar